Kenapa Fujifilm? Pengalaman Pribadi Hijrah dari Sony

Fujifilm X100 Series | Feature
Sumber: Ben Sauer

Karena dua kata: Film Simulation. Fitur khas kamera Fujifilm yang bisa mengubah tone hasil jepret secara indah dan instan itu langsung buat saya jatuh hati, Saking kesengsemnya, saya enggak pikir panjang buat jual Sony NEX-5 yang sudah saya miliki sejak 2012.

Yah, sebenarnya “agama” saya enggak serta-merta berubah cuma gara-gara Film Simulation. Setidaknya ada dua alasan lain yang bikin saya hijrah ke Fujifilm. Izinkan saya cerita (agak) lengkap di sini.

Film Simulation di Fujifilm

Jujur saja, saya jarang puas dengan tone warna alami yang dihasilkan oleh kebanyakan kamera. Warnanya cenderung terlalu “natural”, enggak beda jauh dengan apa yang ditangkap mata telanjang.

Saya enggak bilang kalau warna asli dalam foto dari kamera itu cenderung jelek. Maksud saya, warnanya itu kurang berseni, serta enggak punya ciri khas. Itu juga sebabnya dulu saya sering pakai aplikasi VSCO di ponsel buat modifikasi warna tone foto.

Biar sudah pakai VSCO, mengedit tone foto itu buat saya cukup bikin lelah. Ada banyak parameter yang perlu diutak-atik supaya foto jadi tampak menarik (brightness, saturation, contrast, dan lain-lain). Tiap foto punya karakteristik unik masing-masing, jadi mengedit itu enggak semudah pasang satu filter terus langsung kelar.

Boro-boro edit tone warna supaya foto jadi keren, teknik pengambilan gambar saja masih banyak yang perlu saya pelajari. Jadi, daripada waktu habis untuk mengedit tone foto, saya lebih ingin fokus menajamkan kemampuan ambil gambar di lapangan dengan sebanyak-banyaknya berlatih.

Di sinilah Film Simulation kamera Fujifilm sangat membantu. Enggak perlu khawatir bakal menghabiskan banyak waktu di depan layar ponsel atau komputer saat mengedit tone, karena hasil jepretan mentah dari kameranya saja sudah sangat bagus.

Tone warna Film Simulation di kamera Fujifilm menyerupai kamera analog mereka produksi dulu, waktu era digital belum berjaya seperti sekarang. Warna film analog itu, meski jauh dari kata sempurna, punya karakteristik unik yang bikin hasil foto jadi menarik. Saya sendiri suka pakai Film Simulation Classic Chrome, karena nuansa warnanya yang terkesan jadul dan elegan.

Kini, dengan Film Simulation di Fujifilm, saya enggak perlu lagi menghabiskan banyak waktu untuk mengedit foto. Bahkan hasil mentahan dari kamera pun sudah sangat layak untuk langsung diunggah di Instagram, setidaknya menurut saya pribadi.

Tombol dan kenop

Jujur, saat masih pakai Sony NEX-5 dulu, saya enggak pernah merasa direpotkan oleh desain dan pengaturan menu pada kamera itu. Tapi setelah pernah merasakan pegang kamera Fujifilm yang (relatif) punya lebih banyak kenop dan tombol, saya jadi berpikir sendiri, ke mana saja saya selama ini?

Mungkin ini adalah apa yang pernah dikatakan oleh mendiang Steve Jobs, mantan bos Apple dulu, “Customers don’t know what they want until we’ve shown them.” Jadi selama ini saya sendiri enggak sadar, bahwa mengatur setting kamera itu bisa begitu menyenangkan berkat kenop dan tombol fisik yang beneran bisa disentuh!

Mau atur shutter speed? Setel aperture? Atau ganti ISO? Ada semua tombolnya! Saya jadi enggak perlu repot-repot menyalakan kamera dulu, akses menu di dalamnya, sambil memastikan bahwa opsi setting yang saya pilih sudah benar. Ketika kamera sedang dalam keadaan mati pun, saya bisa mengaturnya langsung!

Padahal sebenarnya, desain kamera dengan beragam kenop dan tombol ini sudah ada sejak lama. Contohnya di kamera-kamera analog zaman dulu. Kayaknya saya saja yang terlalu lama terkungkung dalam gelembung Sony, sehingga tidak sadar ada Fujifilm (dan sederet produsen kamera lain) yang menyediakan user experience lebih mengasyikkan.

Koleksi lensa relatif lebih lengkap

Kalau untuk hal ini, kayaknya enggak susah menjelaskan. Apalagi untuk ranah kamera APSC yang beredar di pasaran.

Fujifilm punya salah satu deretan lensa terlengkap untuk mendukung kamera APSC miliknya. Mau yang super wide, zoom, sampai telephoto, semuanya ada. Masalah kualitas juga enggak perlu khawatir, karena kebanyakan lensa Fujifilm terbuat dari bahan logam yang mantap dipegang, dilengkapi kaca lensa yang bisa menghasilkan gambar tajam.

Aspek ini cukup kontras dengan apa yang ditawarkan oleh Sony untuk kategori kamera APSC keluarannya. Kerasa enggak sih, kalo Sony tampak lebih serius menggarap kategori mirrorless full frame miliknya? Setidaknya bila dilihat dari deretan lensa pihak pertama, koleksi lensa full frame Sony jauh lebih lengkap dibanding untuk APSC.

Harusnya kan enggak masalah tetap di Sony? Tinggal hijrah ke kategori full frame aja, bukan? Sayangnya enggak segampang itu, karena:

  • Saya enggak hobi menenteng kamera berukuran besar dengan lensa yang diameternya bahkan bisa lebih gede dari pergelangan tangan sendiri. Ribet!
  • Harganya *uhuk* relatif mahal (ini kayaknya alasan utama, hehe).

Kira-kira tiga alasan tadi adalah pemicu kenapa saya akhirnya hijrah dari Sony. Kamera Fujifilm pertama saya adalah X100F, yang kemudian bertambah satu lagi dengan kehadiran X-T100.

Kenapa pilih dua kamera itu? Kayaknya itu bisa jadi satu cerita lain lagi dalam Jepret.id. Nantikan kelanjutan ceritanya yaaa.